Perempuan dalam Kemelut Sejarah: Tribute to Nawal El Saadawi

Nawal el-Saadawi
Nawal el-Saadawi. https://www.flickr.com/photos/gigiibrahim/7097465077/

Sejarah perempuan adalah sejarah kelam yang diliputi diskriminasi dan eksploitasi. Penuh kepedihan dan penderitaan. Peran mereka di ruang publik dibatasi, bahkan dipinggirkan. Begitu juga dalam ruang domestik dipaksa oleh pekerjaan rumah tangga: kasur, dapur, dan sumur. Seluruh hidup mereka ditindas oleh budaya patriarki, kolonial negara dan agama.

Tulisan sederhana ini saya persembahkan untuk feminis Mesir Nawal El Saadawi yang wafat pada Minggu, 21 Maret 2021 lalu. Nawal menghembuskan nafas terakhir di usia 89 tahun. Usia yang tidak muda. Tapi buah penanya dalam bentuk karya fiksi dan non-fiksi akan lebih panjang dan abadi. Kita patut mengapresiasi “suara”-nya yang lantang menyuarakan hak-hak perempuan yang dibungkam oleh sejarah laki-laki.

Saya pertama kali mengenal Nawal lewat “Perempuan di Titik Nol” yang diterjemahkan dari “Women at Point Zero”. Novel ini bercerita tentang seorang gadis bernama Firdaus yang dipaksa oleh keadaan untuk menjadi seorang pelacur. Firdaus mengingatkan saya pada Nidah Kirani, tokoh dalam novel “Tuhan Izinkan Saya Jadi Pelacur” karya Muhidin M. Dahlan.

Kedua novel itu memiliki kesamaan. Sama-sama mengangkat tema tentang eksploitasi tubuh perempuan yang dilakukan kaum laki-laki. Ya, Firdaus dan Nidah Kirani dipaksa jadi pelacur oleh keadaan yang menghimpitnya. Tokoh yang disebut pertama memilih jadi pelacur karena ulah orang-orang terdekatnya. Sementara yang kedua, kecewa dengan sekelompok orang yang “sok suci” yang membuat sejumlah aturan namun malah melanggar semua aturan itu.

Exit mobile version