Opini  

Membidik Celah Pencabutan & Pembatalan UU Ciptaker

Opini Tentang Omnibus Law
Opini Tentang Omnibus Law. Foto pexels.com

Istilah Omnibus Law, pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI Periode 2019-2024.

Dalam Pidatonya, Joko Widodo menyinggung sebuah konsep hukum Perundang undangan yang disebut Omnibus Law. Pemikiran ini pun sempat terlontar dari Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sofyan Djalil pernah melontarkan tentang konsep Omnibus Law. Konsep ini dikenal dengan Omnibus bil yang sering digunakan di negara yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Pemikiran tersebut muncul dikarenakan banyak terjadinya tumpang tindih regulasi, khususnya menyoal investasi.

Sepintas, penggunaan konsep Omnibus Law sepertinya mampu menjawab persoalan tumpang tindih aturan perundang undangan di Indonesia. Namun persoalannya, apakah konsep Omnibus Law bisa diterapkan di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law?

Dalam Pembentukan suatu Produk Hukum di Indonesia sendiri, mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2019. Dalam Undang Undang tersebut tidak dikenal dengan istilah UU Payung atau Omnibus Law. Untuk itu , secara formil Proses Pembentukan RUU Omnibus Law masih perlu penjelasan dalam alur pembentukan Peraturan Perundang Undangan, jangan sampai menjadi bertentangan dengan UU Nomor 12.

Terlepas dari konteks diatas, pada akhirnya Omnibus Law yang terkemas rapi dalam Rancangan Undang Undang Cipta Kerja masuk ke gedung DPR pada tanggal 12 Februari, dan sekarang telah disahkan oleh DPR RI pada Hari Senin, tanggal 5 Otober 2020, dengan nama UU Cipta kerja ( UU CIPTAKER ) . Lahirnya undang undang cipta kerja, penuh dengan dinamika dan terkesan dipaksakan, walhasil hari ini banyak menuai protes dan menjadi pemicu aksi di seluruh bumi pertiwi, khususnya dikalangan buruh dan mahasiswa.

Undang Undang Cipta Kerja yang terdiri dari 15 Bab dan 179 Pasal yang salah satu pasalnya mengatur tentang Ketenagakerjaan. Ada beberapa Pasal yang mengatur ketenagakerjaan dan menuai protes dikalangan buruh serta masyarakat. Pasal tersebut yaitu Pasal 88 b ( tentang Upah ), Penghapusan Pasal 91 yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 ( tentang Pengupahan), Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait Perubahan PKWT ( Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ), Pasal 77 UU cipta Kerja ( tentang Waktu kerja dan Libur kerja ).

Isu utama RUU CIPTAKER sebenarnya soal perizinan, karena Pemerintah menginginkan tidak ada lagi tumpang tindih dan ketidakpastian aturan; dengan harapan kondisi iklim investasi bisa lebih baik dan kondusif untuk menaikan produktivitas dan lapangan kerja. Namun dalam proses penyusunan pemerintah terkesan tertutup, publik hanya tahu dalam proses penyusunan ada keterlibatan para pengusaha, sehingga pasal yang dihasilkan lebih menguntungkan para pihak pengusaha.

Tingginya tingkat penolakan dari masyarakat terhadap UU CIPTAKER ini, tidak menutup kemungkinan akan terjadi pencabutan terhadap UU tersebut. Karena Keutuhan bangsa dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi pondasi dari lahirnya sebuah regulasi. Aksi massa besar-besaran telah terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia, jikalah pemerintah tidak segera mengambil sikap, sangat dimungkiankan aksi ini akan menjadi people power yang merata di seluruh negeri dan berujung terhadap mosi tidak percaya dari rakyat terhadap pemimpinannya.

Berdasarkan UU no 12 Tahun 2011, perpu dapat ditetapkan Presiden dalam hal ihwal kegentingan negara dan memaksa. Kewenangan ini bisa saja dilakukan asal Presiden menghendaki atau menurut UU 12 Tahun 2011 jika suatu Undang Undang bertentangan dengan UUD 1945 maka dapat diuji melalui Mahkamah Konstitusi. Belajar dari kasus di terbitkannya UU Nomor 25 tahun 1997, karena tingginya penolakan dari masyarakat maka pemerintah mengeluarkan Perpu sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1998 dan tahun 2000, yang isinya menunda pemberlakuan UU Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997.

Hari ini seluruh buruh dibantu para aktivis mahasiswa , akan terus bergerak menyuarakan keadilan. Semoga keadilan akan tetap berpihak kepada rakyat di negeri ini. Mengalang aksi solidaritas, serta tetap berupaya untuk menyiapkan judicial riview Ke Mahkamah Konstitusi. “Perdamaian yang tidak adil, jauh lebih baik daripada peperangan yang paling adil”.

Penulis: Ridho Kung Law Rifaldi (Aktivis Banten School of Law And Democracy)

Penulis: Ridho Kung Law RifaldiEditor: Caramel
Exit mobile version