Syaikh Nawawi Al-Bantani

Syaikh Nawawi Al-Bantani
Syaikh Nawawi Al-Bantani

Konteks Historis
Syaikh Nawawi lahir dari pasangan K.H. Umar bin ‘Arabi dan Nyai Zubaidah, di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Wafat pada 25 Syawal 1314 H/1897 M. Dan dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, istri terkasih Nabi Muhammad SAW.

Untuk menghormati perjuangan dan kontribusi Syaikh Nawawi dalam khazanah keilmuan Islam, masyarakat Tanara, Tirtayasa, Banten setiap tahunnya di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal menggelar acara haul bersama. Ribuan santri dari berbagai daerah datang mendoakan almarhum.

Ditinjau dari silsilahnya, Syaikh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yaitu keturunan dari putera Maulana Hasanuddin (Sultan Banten Pertama) yang bernama Pangeran Suryararas (Tajul Arsy).

Baca juga: Syaikh Yusuf Al-Makassari Al-Bantani

Nasabnya dari garis ayah tersambung sampai Nabi Muhammad Saw melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra. Sementara dari garis ibu jika dirunut terus akan sampai pada para bangsawan Kesultanan Banten dan Sunan Gunung Jati.

Di usia 5 tahun, Syaikh Nawawi mendapat bimbingan dan pengajaran dari ayahnya ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Setelah kurang lebih 3 tahun lamanya menimba ilmu agama pada sang ayah, Nawawi kecil bersama dua saudaranya, Tamim dan Ahmad, belajar pada Haji Sahal, seorang guru ternama di Banten kala itu. Setelah itu, Syaikh Nawawi nyantri di Purwakarta, Jawa Barat, pada Kiai Yusuf.

Di usia 15 tahun, dua tahun setelah ayahnya wafat, Syaikh Nawawi pergi haji untuk pertama kalinya. Di sana ia tinggal selama kurang lebih 3 tahun. Setelah itu Syaikh Nawawi pulang ke Banten. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi ke Mekah dan tinggal di sana untuk selama-lamanya.

C. Brockelmann mengungkapkan, Syaikh Nawawi kembali ke Mekah lantaran tidak betah tinggal di tanah kelahirannya karena sering mendapat tekanan dari pemerintah Belanda agar tidak memberikan pengajaran agama pada masyarakat.

Di Mekah, sebelum ia menjadi seorang alim, ia telah belajar kepada sejumlah ulama terkenal di Haramain, di antaranya pada Syaikh Ahmad Al-Nahrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan, dan Syaikh Muhammad Khatib Al-Hambali (Azyumardi, Jaringan Ulama, 2007).

Selain menjadi murid, Syaikh Nawawi juga menjadi guru banyak murid dari berbagai daerah di Indonesia, Asia dan Timur Tengah. Tidak kurang dari 200 orang menyimak setiap pengajaran Syaik Nawawi di Masjidil Haram.

Tidak sedikit orang Indonesia-Melayu yang belajar padanya, dan kebanyakan dari mereka kemudian menjadi kiai-kiai di banyak pesantren di Jawa. Sebut saja misalnya, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Mahfudz Termas, KH. Asnawi Caringin, hingga tokoh penentu dalam peristiwa Geger Cilegon 1888, Haji Wasith dan KH. Tubagus Ismail.

Saat peristiwa pemberontakan petani Banten itu terjadi, Syaikh Nawawi memang tidak berada di Banten. Di Mekah, ia tetap menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh dan masyarakat Banten melalui orang-orang yang pergi haji. Di antaranya Haji Wasith dan KH. Tubagus Ismail.

Kepada jama’ah haji Indonesia, Syaikh Nawawi kerap mengobarkan semangat api nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah. Tidak mengherankan jika kampanye anti-penjajahan yang diletupkan Syaikh Nawawi di Mekah itu, mampu membakar semangat murid-muridnya untuk melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Belanda.

Kondisi ini membuat Belanda panik. Mereka kemudian mengutus Snouck Hurgronje guna memata-matai gerak-gerik dan aktivitas Syaikh Nawawi dan jama’ah haji Indonesia di Mekah. Menurutnya, saat itu Banten paling banyak mengirim orang berhaji ke Mekah dibandingkan daerah lain di Indonesia.  

Alhasil, aktivitas haji dari koloni Jawa, dan Banten pada khususnya, dianggap menjadi ancaman serius bagi pemerintah Belanda. Sartono Kartodirdjo berpandangan, selama ada orang-orang yang naik haji, maka selama itu pula berlangsung terus hubungan-hubungan regional-politik yang esensial antara Mekah dan masyarakat-masyarakat Islam yang paling jauh sekalipun. Oleh karena itu dapat dipahami, mengapa pemerintah kolonial mengawasi dengan seksama perjalanan naik haji itu.

Exit mobile version