Sang eyang membuka lembaran kitab berikutnya yang hampir tersisa dua lembar dan kembali menyeruput teh pahit yang sudah hampir dingin. Kemudian ia kembali meneruskan ceritanya:
“Begitu ibu dan nenek sampai di depan rumah. Macan putih betina langsung memperkenalkan badak bercula kepada mereka.
“Wahai ibunda dan nenekku, inilah calon suamiku yaitu badak bercula dari negeri barat”.
Seketika itu pula terkejutlah ibu dan nenek karena yang mereka dapati tidak seperti yang mereka kira. Sang pemuda yang ada dalam benak mereka tidak dapat dilihat sedikit pun batang hidungnya. Sang nenek sambil memegang dada dengan kedua tangannya sambil mengelus agar jantungnya tidak berdetak begitu cepat.
Keadaan menjadi hening tak seorang pun berbicara, dan akhirnya sang nenek memecah keheningan tersebut sambil bertanya kepada macan putih betina.
“Wahai cucuku, pemuda itu bukanlah pemuda untukmu sesuai dengan takdirmu”, sambil menunjuk dari kejauhan kearah badak bercula. “Apakah yang telah kau lakukan sehingga menerima pinangan darinya? Padahal engkau tahu bahwa dia bukanlah pemuda yang kau cintai.”
Macan putih betina pun akhirnya menjawab “Wahai nenek, aku lelah mencari pemuda dalam mimpiku. Telah banyak hutan belantara aku lewati, gunung-gunung tinggi aku daki. Tapi tak sedikit pun aku dapat berjumpa dengannya, padahal aku telah menjalankan wasiatmu untuk berjalan sebagaimana matahari pergi dan datang” jawabnya.
“Wahai ibunda”, macan putih betina berkata sambil menoleh mukanya kearah ibunya, “Izinkanlah aku untuk dapat menikah dengan badak bercula walaupun hatiku tidak sepenuhnya mencintainya, karena hal itu aku lakukan hanya untuk membalas kebaikannya selama aku terdampar dalam perjalanan.”
Macan putih betina berkata sambil dengan penuh permohonan, “Ibunda, apakah kau ingin melihat putrimu ini mati karena penyakitku yang engkau telah ketahui. Aku ingin memiliki seseorang yang menjadi tempat bersandarku sebelum aku pergi” macan putih betina sambil menangis.”
Pemuda yang sering bertanya tiba-tiba memotong cerita sang eyang, “Maaf eyang, macan putih betina sakit? kenapa sebelumnya tidak diceritakan bahwa ia sakit? Kenapa pula ibu dan neneknya membiarkan macan putih betina berkelana sendirian dalam keadaan tubuhnya sakit? Kenapa eyang?” tanyanya dengan penuh keingintahuan.
Sang eyang menjawab, “Betul pemuda, bahwa perjalanan macan putih betina ke barat memiliki seribu satu rahasia. Aku akan menceritakannya kepadamu sepenuhnya, sekali lagi aku mohon padamu dengarkanlah”.
Sang eyang pun akhirnya meneruskan ceritanya:
“Ketika macan putih betina menangis setelah menceritakan kondisinya, akhirnya sang ibu memeluk macan putih betina sambil mengusap kepalanya dengan lembut dan berkata “Wahai putriku, apabila itu adalah kehendakmu, maka aku mengizinkan dirimu untuk menikah dengan badak bercula.”
Sang ibu menenangkan putrinya, walaupun dalam hati yang paling dalam sang ibu sungguh tidak dapat menerima keadaan itu. Begitu pun dengan sang nenek, ia tertunduk sambil pikirannya menerawang wajah sang pemuda yang telah ia janjikan untuk dapat menikahi cucunya.”
Tibalah sang eyang sampai pada lembaran terakhir, ia sangat berharap apa yang disampaikan melalui ceritanya kepada para pengikut yang juga para pendengarnya dapat mengambil makna filosofis dari cerita yang ia sampaikan. Sang eyang pun akhirnya meneruskan cerita yang termaktub dalam kitab antah berantah tersebut:
“Akhirnya pernikahan itu pun terjadi, badak bercula sangat senang sekali karena dapat menikahi macan putih betina. Diatas singgasana pelaminan, dua pengantin tersebut menerima ucapan selamat dari tamu yang berdatangan silih berganti. Suara musik sangat riuh penuh gempita. Tamu yang datang semuanya terlayani dengan baik, tak ada yang kurang sedikit pun. Tapi hanya satu yang janggal, yaitu sang nenek yang duduk sendiri membisu diantara kerumunan para tamu undangan, ia seperti tidak menikmati suasana pernikahan itu.
Link Cerita: Part 1, Part 2, Part 3, Part 4, Part 5, Part 6, Part 7, Tamat